Lima tahun yang lalu, kecelakaan telah merenggut orang yang kukasihi,
sering aku bertanya-tanya, bagaimana keadaan istri saya sekarang di alam
surgawi, baik-baik sajakah? Dia pasti sangat sedih karena sudah
meninggalkan sorang suami yang tidak mampu mengurus rumah dan seorang
anak yang masih begitu kecil. Begitulah yang kurasakan, karena selama ini saya merasa bahwa saya telah
gagal, tidak bisa memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani anak saya, dan
gagal untuk menjadi ayah dan ibu untuk anak saya.
Pada suatu hari, ada urusan penting di tempat kerja, aku harus segera
berangkat ke kantor, anak saya masih tertidur. Ohhh… aku harus
menyediakan makan untuknya. Karena masih ada sisa nasi, jadi aku
menggoreng telur untuk dia makan. Setelah memberitahu anak saya yang
masih mengantuk, kemudian aku bergegas berangkat ke tempat kerja. Peran
ganda yang kujalani, membuat energiku benar-benar terkuras.
Suatu hari ketika aku pulang kerja aku merasa sangat lelah, setelah
bekerja sepanjang hari. Hanya sekilas aku memeluk dan mencium anakku,
saya langsung masuk ke kamar tidur, dan melewatkan makan malam. Namun,
ketika aku merebahkan badan ke tempat tidur dengan maksud untuk tidur
sejenak menghilangkan kepenatan, tiba-tiba saya merasa ada sesuatu yang
pecah dan tumpah seperti cairan hangat! Aku membuka selimut dan….. di sanalah sumber ‘masalah’nya … sebuah
mangkuk yang pecah dengan mie instan yang berantakan di seprai dan
selimut!
Ya Alloh..! Aku begitu marah, aku mengambil gantungan pakaian, dan
langsung menghujani anak saya yang sedang gembira bermain dengan
mainannya, dengan pukulan-pukulan! Dia hanya menangis, sedikitpun tidak
meminta belas kasihan, dia hanya memberi penjelasan singkat:
“Ayah, tadi aku merasa lapar dan tidak ada lagi sisa nasi. Tapi ayah
belum pulang, jadi aku ingin memasak mie instan. Aku ingat, ayah pernah
mengatakan untuk tidak menyentuh atau menggunakan kompor gas tanpa ada
orang dewasa di sekitar, maka aku menyalakan mesin air minum ini dan
menggunakan air panas untuk memasak mie. Satu untuk ayah dan yang satu lagi untuk saya … Karena aku takut mie’nya
akan menjadi dingin, jadi aku menyimpannya di bawah selimut supaya
tetap hangat sampai ayah pulang. Tapi aku lupa untuk mengingatkan ayah
karena aku sedang bermain dengan mainan saya … Saya minta maaf Ayah …"
Seketika, air mata mulai mengalir di pipiku … tetapi, saya tidak ingin
anak saya melihat ayahnya menangis maka aku berlari ke kamar mandi dan
menangis dengan menyalakan shower di kamar mandi untuk menutupi suara
tangis saya. Setelah beberapa lama, aku hampiri anak saya, memeluknya
dengan erat dan memberikan obat kepadanya atas luka bekas pukulan
dipantatnya, lalu aku membujuknya untuk tidur.
Kemudian aku membersihkan kotoran tumpahan mie di tempat tidur. Ketika
semuanya sudah selesai dan lewat tengah malam, aku melewati kamar
anakku, dan melihat anakku masih menangis, bukan karena rasa sakit di
pantatnya, tapi karena dia sedang melihat foto ibu yang dikasihinya.
Satu tahun berlalu sejak kejadian itu, saya mencoba, dalam periode ini,
untuk memusatkan perhatian dengan memberinya kasih sayang seorang ayah
dan juga kasih sayang seorang ibu, serta memperhatikan semua
kebutuhannya. Tanpa terasa, anakku sudah berumur tujuh tahun, dan akan
lulus dari Taman Kanak-kanak. Untungnya, insiden yang terjadi tidak
meninggalkan kenangan buruk di masa kecilnya dan dia sudah tumbuh dewasa
dengan bahagia.
Namun… belum lama, aku sudah memukul anakku lagi, saya benar-benar
menyesal…. Guru Taman Kanak-kanaknya memanggilku dan memberitahukan
bahwa anak saya absen dari sekolah. Aku pulang kerumah lebih awal dari
kantor, aku berharap dia bisa menjelaskan. Tapi ia tidak ada dirumah,
aku pergi mencari di sekitar rumah kami, memangil-manggil namanya dan
akhirnya menemukan dirinya di sebuah toko alat tulis, sedang bermain
komputer game dengan gembira. Aku marah, membawanya pulang dan
menghujaninya dengan pukulan-pukulan. Dia diam saja lalu mengatakan, “Aku minta maaf, Ayah”. Selang beberapa
lama aku selidiki, ternyata ia absen dari acara “pertunjukan bakat” yang
diadakan oleh sekolah, karena yg diundang adalah siswa dengan ibunya.
Dan itulah alasan ketidakhadirannya karena ia tidak punya ibu…..
Beberapa hari setelah penghukuman dengan pukulan rotan, anakku pulang ke
rumah memberitahu saya, bahwa disekolahnya mulai diajarkan cara membaca
dan menulis. Sejak saat itu, anakku lebih banyak mengurung diri di
kamarnya untuk berlatih menulis, yang saya yakin, jika istri saya masih
ada dan melihatnya ia akan merasa bangga, tentu saja dia membuat saya
bangga juga!
Waktu berlalu dengan begitu cepat, satu tahun telah lewat. Saat ini
musim dingin,dan hari raya idul fitri pun telah tiba. tapi
astagfirulloh, anakku membuat masalah lagi. Ketika aku sedang
menyelasaikan pekerjaan di hari-hari terakhir kerja, tiba-tiba kantor
pos menelpon. Karena pengiriman surat sedang mengalami puncaknya, tukang
pos juga sedang sibuk-sibuknya, suasana hati mereka pun jadi kurang
bagus.
Mereka menelpon saya dengan marah-marah, untuk memberitahu bahwa anak
saya telah mengirim beberapa surat tanpa alamat. Walaupun saya sudah
berjanji untuk tidak pernah memukul anak saya lagi, tetapi saya tidak
bias menahan diri untuk tidak memukulnya lagi, karena saya merasa bahwa
anak ini sudah benar-benar keterlaluan. Tapi sekali lagi, seperti
sebelumnya, dia meminta maaf : “Maaf, Ayah”. Tidak ada tambahan satu
kata pun untuk menjelaskan alasannya melakukan itu.
Setelah itu saya pergi ke kantor pos untuk mengambil surat-surat tanpa
alamat tersebut lalu pulang. Sesampai di rumah, dengan marah saya
mendorong anak saya ke sudut mempertanyakan kepadanya, perbuatan konyol
apalagi ini? Apa yang ada dikepalanya? Jawabannya, di tengah
isak-tangisnya, adalah : “Surat-surat itu untuk ibu…..”.
Tiba-tiba mataku berkaca-kaca. …. tapi aku mencoba mengendalikan emosi
dan terus bertanya kepadanya: “Tapi kenapa kamu memposkan begitu banyak
surat-surat, pada waktu yg sama?”
Jawaban anakku itu : “Aku telah menulis surat buat ibu untuk waktu yang
lama, tapi setiap kali aku mau menjangkau kotak pos itu, terlalu tinggi
bagiku, sehingga aku tidak dapat memposkan surat-suratku. Tapi baru-baru
ini, ketika aku kembali ke kotak pos, aku bisa mencapai kotak itu dan
aku mengirimkannya sekaligus”. Setelah mendengar penjelasannya ini, aku
kehilangan kata-kata, aku bingung, tidak tahu apa yang harus aku
lakukan, dan apa yang harus aku katakan ….
Aku bilang pada anakku, “Nak, ibu sudah berada di surga, jadi untuk
selanjutnya, jika kamu hendak menuliskan sesuatu untuk ibu, cukup dengan
membakar surat tersebut maka surat akan sampai kepada ibu. Setelah
mendengar hal ini, anakku jadi lebih tenang, dan segera setelah itu, ia
bisa tidur dengan nyenyak. Saya berjanji akan membakar surat-surat atas
namanya, jadi saya membawa surat-surat tersebut ke luar, tapi…. saya
jadi penasaran untuk tidak membuka surat tersebut sebelum mereka berubah
menjadi abu.
Dan salah satu dari isi surat-suratnya membuat hati saya hancur...
"Ibu sayang, Saya sangat merindukanmu!
Hari ini, ada sebuah acara ‘Pertunjukan Bakat’ di sekolah, dan
mengundang semua ibu untuk hadir di pertunjukan tersebut. Tapi kamu
tidak ada, jadi saya tidak ingin menghadirinya juga. Aku tidak
memberitahu ayah tentang hal ini karena aku takut ayah akan mulai
menangis dan merindukanmu lagi.
Saat itu untuk menyembunyikan kesedihan, aku duduk di depan komputer dan
mulai bermain game di salah satu toko. Ayah keliling-keliling mencari
saya, setelah menemukanku ayah marah, dan aku hanya bisa diam, ayah
memukul aku, tetapi aku tidak menceritakan alasan yang sebenarnya. Ibu,
setiap hari saya melihat ayah merindukanmu, setiap kali dia teringat
padamu, ia begitu sedih dan sering bersembunyi dan menangis di kamarnya.
Saya pikir kita berdua amat sangat merindukanmu. Terlalu berat untuk
kita berdua, saya rasa. Tapi ibu, aku mulai melupakan wajahmu. Bisakah
ibu muncul dalam mimpiku sehingga saya dapat melihat wajahmu dan ingat
ibu? Temanku bilang jika kau tertidur dengan foto orang yang kamu
rindukan, maka kamu akan melihat orang tersebut dalam mimpimu. Tapi ibu,
mengapa engkau tak pernah muncul?"